Esai tentang Aswaja: Peradaban, Fikih dan Pendidikan
Sebuah kisah pengalaman orang Indonesia yang bekerja di Jepang cukup menarik. Kamera yang dibawa ketika berangkat kerja tertinggal di kereta api. Dia melapor ke petugas keamanan stasion di Tokyo. Oleh petugas idenitasnya dicatat. Setelah pulang kerja sekitar jam delapan malam, dia dapatkan kembali kamera itu sudah di apartemennya.
Tahun 80-an ada satu keluarga imigran Palestina mulai menetap di Denmark. Salah seorang anaknya menamatkan sekolah menengah radiologi kemudian bekerja di rumah sakit universitas di pinggiran kota Kopenhagen. Beberapa tahun kemudian dia menikah dengan gadis keturunan Syria. Dengan dua orang anak balita dia menempati apartemen. Hanya dengan ijazah setara SMK dia mendapat gaji yang mencengangkan untuk ukuran kita: empat ratus tiga pulu juta rupiah pertahun. Dengan gaji itu keluarga muda itu dapat menabung lebih dari ⅓ gaji.
Di kedua negara itu pekerjaan mudah didapat, tidak ada diskriminasi ras, semua warga negara mendapat kesempatan yang sama. Keluarga Palestina itu dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan bebas. Meski pernah muncul karikatur yang menghina Nabi Muhammad, tetapi pemeluk Islam tiap tahun terus bertambah.
Kisah ini memerlihatkan format sosial budaya dan politik yang menerapkan sikap kejujuran, etos kerja dan ketertiban sosial yang menghasikan kemakmuran masyarakat di kedua negara itu. Kejujuran dan etos kerja itu dibangun oleh nilai budaya. Dan nilai budaya itu dibangun antara lain oleh pandangan hidup dan nilai agama yang dianut.
Jauh sebelum itu sejarah Islam juga memerlihatkan fenomena yang mungkin sama. Dalam waktu yang singkat mayarakat Islam berkembang mencapai kemajuan yang menakjubkan. Sepanjang enam ampai delapan abad lamanya sejak Nabi Muhammad menyampaikan risalah, Islam memberi inspirasi kepada umatnya mencapai kemajuan dalam membangun peradaban dunia. Sebuah peradaban yang memberi pengaruh besar terhadap renaisanse yang melahirkan revolusi industri di Inggris sekitar abad 18. Revolusi industri itu yang menjadi cikal bakal kebangkitan teknologi abad modern ini, terutama dalam bidang IT.
Sekitar abad 12-13 orang-orang Jerman, Perancis dan Inggris masih memakai baju dari kulit domba, di sana hanya ada jalan setapak yang berdebu, mereka makan langsung dari binatang yang diburu, tak ada sajian pesta makan dengan piring dan garpu dengan meja besar dan lampu penerang.
Kondisi berbeda dengan yang ada di Spanyol, Mesir, Baghdad atau Isfahan. Di sana sudah ada landskap kota, jalan tertata baik dengan lampu penerang di malam hari, pertanian dengan irigasi teratur, ada rumah penginapan (hotel), pemandian umum. Makanan disajikan dengan lauk yang merangsang, ada buah, ada piring, garpu dan meja kursi tertata rapi. Orang yang datang memakai pakaian wool bertenun dan sutera halus buatan Cina.
Ketika bangsa-bangsa Eropa (Amerika belum dikenal) masih berperadaban primitif dan nomaden, ilmuan muslim sudah menulis ribuan buku. Jalal Al-Din Al-Suyuti dan Abu Hamid Al-Ghazali (abad 12), sudah menulis ratusan buku. Ibn Taymiyah (abad 13) menulis lebih lima ratus judul buku. Salah satu judul buku Al-Majmu’ tediri atas 36 jilid tebal. Pada abad 15 Ibn Khaldun menulis buku babon bidang sejarah, sosial dan politik dengan kata pengantar teoretik diberi judul Muqaddimah. Belum lagi penulis bidang sains dan filsafat sepanjang abad 10-14 seperti ‘Umar Khayyam, Ibn Rusyd, Al-Biruni atau Ibn Sina yang menghasilkan ribuan judul buku. Buku Ibn Sina القانون في الطب bahkan masih dipakai sebagai buku wajib mahasiswa kedokteran di Eropa sampai abad 19.
Yang menakjubkan adalah temuan angka Arab 1-9 yang tersusun dalam desimal puluhan, ratusan, ribua dan seterusnya, oleh Abu Musa Al-Kawarizmi pada abad 10. Namanya menjadi bahasa Latin Algorithma. Tak bisa dibayangkan kalau dunia sekarang masih memakai angka Romawi yang tak bisa dijumlah, dikali, dibagi. Tak ada simbol angka minus dan nol untuk melambangkan sesuatu yang tak ada. Jika dunia tetap memakai angka Romawi tak bakal ada semua temuan teknologi modern sekarang. Ilmuwan Barat modern mengakui sumbangan Islam terhadap peradaban dunia modern yang mereka capai. Sebab semua temuan itu dibangun dengan dasar matematika yang ditemukan Al-Khawarizmi.
Seorang ilmuwan Jepang meneliti sistem irigasi pertanian zaman Muwahhidun. Pada zaman itu Salah Al-Din Al-Ayyubi memimpin 200.000 pasukan untuk membebaskan Palestina dan menjadikan Palestina wilayah damai bagi tiga penganut agama. Tanpa kemajuan ekonomi, politik dan militer yang dibangun dari basis pertanian yang maju, rasanya mustahil pengerahan pasukan sebesar itu dari Afrika Utara menuju Palestina dengan kemenangan yang menakjubkan.
Dari pengalaman pertempuran dengan pasukan Muslim di Palestina dalam Perang Salib selama 300 tahun, tentara Nasrani Eropa membawa pengalaman baru. Mereka mengenal parfum, bumbu masak, etika menghidangkan makanan, mode pakaian, al-ruz kemudian berubah menjadi rice, al-sukkar menjadi sugar, sabun menjadi soap, selain ribuan buku karya sarjana muslim yang dibawa pulang dan masih banyak lagi.
Sistem perdagangan dan keuangan pun peradaban Islam memberi sumbangan penting. Sistem pos, treveller cheque bahkan perbankan sudah dipraktekkan pedagang muslim sejak abad 11. Pasukan Napoleon mengambil Al-Majallat Al-Ahkam Al-‘Adaliya dari Turki Ottoman menjadi Code Pena. Selanjutnya ketika Perancis menjajah Belanda undang-undang itu di praktekkan di Belanda. Ketika Belanda menjajah Nusantara aturan hukum itu diadopsi sebagai Hukum Pidana dan Perdata.
Tetapi semua itu tinggal kenangan. Sejak abad 16-17 peradaban Islam mengalami kemerosotan. Lebih-lebih abad 18-19 ketika terjadi kolonialisasi bangsa Eropa terhadap negeri-negeri muslim. Tak muncul lagi karya orisinal. Zaman itu merupakan zaman syarah dan hasyiyah. Tak ada buku asli. Semua karya dan temuan sarjana muslim yang menginspirasi kemajuan bangsa Eropa, ditinggal begitu saja. Pusat-pusat pendidikan dan keilmuan Islam tak pernah mengembangkannya bahkan karya ilmiah mereka menjadi “barang rongsokan” yang dianggap merusak agama. Sepanjang empat abad antara abad 17 sampai abad 20, pendidikan di negeri-negeri muslim hampir tak memberi sumbangan penting bagi kemajuan pradabannya sendiri.
Sepanjang dua abad terakhir ini kita menyaksikan keadaan yang sama sekali berbeda dengan zaman keemasan Islam. Pada zaman itu peradaban Islam menjadi model dan simbol kemajuan. Mulai dari pakaian, istana dan fasilitas umum, sistem pendidikan, arsitektur, landskap kota, sistem irigasi, ilmu pengetahuan dan sebagainya ditiru mentah oleh bangsa-bangsa Eropa. Tetapi sekarang hampir dalam semua hal kita menjadi konsumen produk peradaban Barat.
Petanyaan yang muncul ialah mengapa dahulu kemajuan peradaban manusia memiliki momentum dan relasi dengan kemajuan Islam, tetapi sekarang justru kemiskinan, keterpurukan, rendahnya tingkat pendidikan, masyarakat yang korup, konflik yang menimpa negeri-negeri muslim? Pertanyaan itulah kemudian menjadi tantangan. Di masa lalu agama memberi sumbangan besar terbangunnya sistem budaya yang mampu menyangga pengembangan peradaban. Mengapa sekarang tidak?
Perlu dikembangkan pemahaman agama (Aswaja) yang lebih konprehensif (شاملة) meliputi semua aspek budaya dan sejarah. Pemahaman terhadap suatu realitas tergantung bagimana cara memandangnya. Cara pandang yang parsial (متجيز) akan menghasilkan pemahaman yang parsial pula. Dalam lieratur (المادة المطبوعة) pesantren Aswaja dipahami dengan pendekatan kalam yang rasional spekulatif atau fikih yang bersifat bayani, suatu pemahaman yang besandar pada penguraian makna teks.
Tentu saja pemahaman seperti itu tak menghasilkan pemahaman realitas yang utuh atau komprehensif, sebab pemahaman makna teks adalah salah satu produk budaya sebagaimana bahasa yang dimaknainya. Oleh karena itu memahami makna teks juga harus menggunakan instrumen lain untuk memahami sebuah realitas yang kompleks.
Memahami teks ما أنا عليه اليوم وأصحابي yang dipakai sebagai dasar pembenaran paham Aswaja, tak sekadar bagaimana Nabi dan para sahabat menempatkan teks Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama pemahaman agama. Tetapi juga bagaimana impilkasinya (تضمين) dalam realitas sejarah dan peradaban, ekonomi, politik dan sosial seperti yang dikemukakan di atas.
Jadi pemahaman makna Aswaja bukan sekadar makna ritual bagaimana menjamin keselamatan di akhirat, tetapi yang lebih penting bagaimana pemaknaannya memberikan jaminan bagi kesejahteraan dan kemajuan peradaban umat manusia. Allah menurunkan agama bukan untuk kepentingan Allah sendiri, tetapi untuk kepentingan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat لصلاحهم في الدنيا والآخرة. Para ahli astronomi modern membuat kesimpulan menakjubkan bahwa sistem tata semesta ini diciptakan menunggu kehadiran manusia. Maka memaknai suatu “ideologi” atau pemahaman agama adalah upaya menggali nilai-nilai agama sehingga agama itu dapat membangun budaya dan peradaban yang membawa kemajuan umat manusia.
Mungkin perlu direnungkan kembali konstruksi (بناء) fikih dalam konteks pendidikan berupa beban(تكليف) dalam wujud konstruksi hukum al-ahkām al-khamsah: al-wujūb, al-tahriīm, al-mandūb, al-ibāhah dan al-karāhah. Model konstruksi demikian dapat menciptakan pandangan seolah-olah pemberi beban, dalam hal ini Allah, mendapat keuntungan jika taklīf itu dilaksanakan, sementara yang menerima beban (mukallaf) melaksanakan tugas-tugasnya memenuhi kewjibannya “hanya sekadar” memenuhi kewajiban. Padahal taklīf itu sepenuhnya demi keuntungan atau kemaslahatan mukallaf sendiri.
Konsep taklīf harus ditekankan sebagai kebutuhan manusia sendiri seperti tampak dalam konsep al-maslahah Al-Ghazali yang terbagi dalam tiga kategori: al-darūrī, al-hājī dan al-tahsīnī. Karena itu seluruh muatan taklīf harus dipandang sebagai kebutuhan yang memberi implikasi pada perilaku manusia yang membawa maslahah. Selanjutnya maslahah itu mewujud dalam budaya yang dapat menyangga peradaban yang maju.
Beberapa tahun lalu delegasi Jepang berkunjung ke Surabaya meninjau pendidikan. Ketika mengunjungi sekolah menengah mereka bertanya, ‘Apakah di sini diajarkan IPA?.’ ‘Ya,’ jawab guru sekolah. ‘Apakah juga diajarkan pendidikan etika atau agama?’. ‘Ya’, jawab guru sekolah. Pertanyaan orang Jepang itu selanjutnya, ‘Tapi mengapa tanaman di taman sekolah gersang dan mati? Mengapa perpustakaan sekolah kosong tak terawat?.’
Pertanyaan seperti itu bisa dilanjutkan dengan ratusan, ribuan, puluhan ribu kosa kata “mengapa?” ketika terjadi kontroversi gagasan atau konsep dengan realitas. Mengapa ajarah taharah tak memberi implikasi kesadaran budaya tentang kebersihan, keindahan dan pelestarian ekosistem? Mengapa salat tak menghasilkan budaya jujur dan etos kerja tinggi. Mengapa gelar kesarjanaan atau sertifikat pendidikan hanya dipakai sebagai simbol status sosial? Mengapa pendidikan pesantren masih menghasilkan politisi dan birokrat yang korup? Mengapa ibadah yang kita lakukan tak menghasilkan sikap profesional dalam kehidupan sosial politik? Mengapa pendidikan akhlaq malah menghasilkan manusia rakus?
Mengajarkan Aswaja kepada murid bukan sekadar mengajarkan makna atau konsep tertentu tentang paham keagamaan, bukan sekadar transformasi pengetahuan. Lebih dari itu bagaimana implikasi nilai kebaikan yang diajarkan agama dapat terwujud membangun budaya yang dapat menyangga peradaban dan kemajuan.
Dalam konteks taharah bukan sekadar mengajarkan detil formal taharah meliputi syarat rukun dan bagaimana cara bersuci. Mengajarkan taharah harus juga menekankan pada konsep air sebagai mata rantai kehidupan yang mengandung makna sebagai instrumen kebutuhan hidup yang bersifat darūrī untuk menjaga keseimbangan ekosistem, kelestarian alam, keindahan dan kebersihan. Karena itu pengajaran taharah harus juga menekankan mengenai pentingnya air bagi kehidupan umat manusia dan akibat-akibatnya. Mengapa sanitasi rumah tangga menyalurkan semua buangan air dan limbah tersalur ke sungai? Akibatnya sungai tercemar dan pesisir laut tempat muara sungai juga tercemar. Ikan yang ditangkap juga tercemar limbah. Aibatnya jelas mata rantai kerusakan (mafsadah) yang menggurita.
Maka ketika jawaban ditemukan dan aplikasi jawaban itu memberi makna penting perubahan sesuai dengan ide atau konsep, maka itulah Aswaja. Dengan demikian, pendidkan Aswaja, dalam hal ini keseluruhan makna dan nilai agama, harus mampu memberi solusi tehadap problem sosial, ekonomi, budaya dan peradaban yang dihadapi umat. Untuk itu diperlukan kerja besar membangun tradisi membaca yang kuat. Seluruh pemangku kepentingan pendidikan, khususnya para guru, harus membangun tradisi menulis buku. Sebagai perbandingan Indonesia yang berpenduduk 225 juta jiwa hanya memproduksi 8.000 judul buku per tahun, sementara Vietnam yang baru medeka dengan penduduk 80 juta jiwa mampu memproduksi 15.000 judul buku per tahun.
Makalah Dr HM Ali Haidar dalam Forum Kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah NU Jawa Timur pada 10 Januari 2009, disampaikan kembali pada forum 31 Januari 2009.
0 Komentar