Dialog Ahlussunah dengan Wahabi Tentang Tawasul Dan Istighatsah

Dialog Ahlussunah dengan Wahabi Tentang Tawasul Dan Istighatsah

Dialog ini adalah pengalaman pribadi Syaikh Walid al-Sa’id, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Timur Tengah, dengan Syaikh Syu’aib al-Arnauth, seorang Wahhabi dari Damaskus. Syaikh Walid al-Sa’id bercerita.

Aku mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang masalah tawassul dan istighatsah. Lalu aku berbicara dengannya tentang masalah tawassul dan aku ajukan hadits riwayat al-Thabarani.

Syu’aib al-Arnauth berkata, “Hadits ini membolehkan bertawassul dengan Nabi saw ketika masa hidupnya.”

Saya berkata: “Hadits al-Thabarani membolehkan bertawassul dengan Nabi saw ketika masa hidupnya dan sesudah meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang mendatangi makam Nabi saw dan bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi saw.”

Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”

Aku berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Demikian pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”

Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata, hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih kepada Malik al-Dar. Sedangkan Malik al-Dar ini seorang perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik al-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”

Aku berkata: “Malik al-Dar ini diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara Baitul Mal kaum Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah Umar mengangkat seorang laki-laki yang tidak jelas kualitasnya, apakah dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara?”

Mendengar sanggahan saya ini, dia diam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara lagi kepada saya, “Menurut pendapat pribadi saya, dalam masalah tawassul ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun beristighatsah dengan selain Allah, hukumnya jelas haram. Seorang makhluk tidak boleh beristighatsah dengan sesama makhluknya.”

Aku berkata, “Kalau Anda berpendapat bahwa istighatsah terhadap sesama makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ اْلأُذُنِ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اِسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ.


“Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat, sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam.”

Syu’aib berkata: “Hadits ini berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang dibolehkan beristighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh beristighatsah dengan mereka.”

Aku berkata: “Kalau begitu, Anda berpendapat boleh beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?”

Ia menjawab: “Ya.”

Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil ‘aqli atau dalil syar’i yang melarang beristighatsah dengan para nabi sesudah mereka meninggal dunia!”

Ia berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya yang sedang aku tahqiq dan belum diterbitkan. Hadits tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah saw bersabda:


إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ


“Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku. Beristighatsah hanya kepada Allah.”

Aku berkata: “Kalau bergitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadits Ibnu Umar (riwayat al-Bukhari), bahwa beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup, itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi saw ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak boleh beristihgatsah denganku.”

Ia berkata, “Maaf, hadits ini dha’if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah.” [Ternyata hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan diakuinya sebagai hadits dha'if.]

Kemudian ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan contoh seorang imam di antara imam madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang wali untuk bertabarruk atau beristighatsah dengannya.”

Aku berkata: “Al-Khathib al-Baghdadi telah meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dengan sanad yang shahih, bahwa Imam al-Syafi’i berkata: “Aku senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Aku selalu mendatangi makamnya setiap hari berziarah. Apabali aku memiliki hajat, aku shalat dua raka’at, lalu aku datangi makamnya, aku berdoa kepada Allah tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul.”

Ia berkata dengan berteriak, “Riwayat ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”

Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di belakang punggungnya. Lalu aku berkata kepadanya, “Tolong ambilkan kitab itu.” Setelah kitab tersebut dierahkan kepadaku, aku bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan aku perlihatkan kepadanya. Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa heran dan berkata kepada seorang pembantunya, “Tolong dikaji kualitas para perawi hadits ini.”

Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau ia telah mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi terhadap hadits. Padahal mereka tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa masuk ke dalam, pembantu itu pun kembali dan berkata kepadanya dengan suara agak pelan, “Semua perawi hadits ini tsiqah (dapat dipercaya)).”

Lalu aku berkata kepadanya, “Bagaimana hasil temuan Anda tentang semua perawi hadits ini?”

Ia menjawab: “Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang belum aku temukan data biografinya. Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak diketahui kualitanya.”

Aku berkata: “Bagaimana Anda menghukumi hadits ini dha’if, karena Anda tidak menemukan data biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaedah disebutkan, “Tidak menemukan data, bukan merupakan bukti tidak adanya data itu.”

Dia berkata: “Apa maksud kaedah ini?”

Aku berkata: “Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak diketahui kualitasnya dan dha’if.”

Ia berkata: “Kalau Anda bisa menemukan data perawi ini, aku kasih nilai sepuluh.” Kemudian ia berkata: “Aku sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini.” Lalu ia menanyakan namaku. Aku menjawab: “Namaku Walid al-Sa’id, murid Syaikh Abdullah al-Harari.”

Posting Komentar

0 Komentar