Esai : Menuju Pendidikan Islam Yang Berkarakter
Peremajaan Nilai-nilai Aswaja dalam Pengembangan Pendidikan di lingkungan NU
Oleh Dr. Masdar Hilmy, MA.
Pada dekade 1990-an, alm. Nurcholish Madjid (Cak Nur) –yang dalam dirinya mengalir darah “tradisionalisme” Aswaja dan “modernisme” puritan-reformis sekaligus—pernah memprediksi kelahiran baby-booming generasi muda NU terdidik yang akan menguasai sejumlah sektor penting dalam struktur kelembagaan negara dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Jika melihat kenyataan yang ada, nampaknya kurun waktu 25 tahun terlalu lama, karena sekarang ini sudah banyak bermunculan generasi muda NU (baca: berbasis budaya Aswaja dan pesantren) telah dan sedang malang-melintang mengisi percaturan kehidupan publik. Artinya, masa-masa sekarang ini adalah harvesting season (musim panen) bagi kaum Nahdliyin atas jerih-payah mereka selama masa tanam beberapa waktu silam, setelah sekian lama mereka terpinggirkan dalam percaturan kehidupan publik selama bertahun-tahun.
Realitas mutakhir warga Nahdliyin dalam aspek pendidikan, tentu saja, jauh berbeda dari kondisi mereka pada awal masa revolusi kemerdekaan hingga dekade 1980-an, ketika di dalam tubuh komunitas yang berbasis pesantren ini jarang ditemui tenaga terampil modern. Langkanya tenaga terampil yang modern ini pernah dikeluhkan oleh KH A. Wahid Hasyim dengan ungkapan: “Mencari seorang akademisi di dalam NU adalah ibarat mencari tukang es pada jam 1 malam.” Pada saat-saat itu, pos-pos penting dalam struktur kenegaraan lebih banyak dipegang oleh orang-orang Muslim kota-terdidik yang kebanyakan berlatarbelakang modernis seperti Masyumi dan Muhammadiyah. Faktor langkanya kaum terdidik-formal inilah yang membuat kaum Nahdliyin semakin lama semakin terpinggirkan perannya dalam percaturan bangsa, sehingga mereka hanya menempati peran-peran yang tidak strategis. Kondisi kaum Nahdliyin semacam ini seringkali digambarkan sebagai sekadar “pendorong mobil mogok yang ditinggalkan ketika mobil tersebut sudah berjalan.”
Pertanyaannya adalah, apa yang sedang terjadi pada komunitas Nahdliyin tersebut dalam lanskap pendidikan? Bagaimana menjelaskan fenomena me-“rangsek”-nya generasi muda NU dalam banyak sektor kehidupan publik di negeri ini? Apakah teologi Aswaja bisa dikatakan berperan dalam fenomena baby-booming warga Nahdliyin dalam dunia pendidikan secara umum? Inilah serangkaian pertanyaan yang coba dijelaskan melalui tulisan singkat ini, terutama dalam perspektif teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Aswaja: dari Eklektisisme ke Nihilisme Karakter
Salah satu karakteristik mendasar dari doktrin Aswaja adalah semangat eklektisisme dalam berbagai hal, baik dalam bidang paham keagamaan maupun realitas sosial-politik secara umum. Karakter eklektisisme tersebut banyak diilhami oleh doktrin “melestarikan yang baik dan mengambil yang lebih baik lagi.” Dalam derajat tertentu, semangat eklektisisme ini mendasari dan turut membentuk sebuah pandangan dunia (worldview) dan kesadaran kosmologis di kalangan warga Nahdliyin, yang pada gilirannya memberikan cetak-biru bagi pola perilaku mereka secara umum.
Sikap eklektisisme ini bisa dilihat, misalnya, dalam sikap warga Nahdliyin yang tidak xenophobic (takut terhadap hal-hal baru) terhadap segala bentuk inovasi peradaban dari luar. Mereka juga dibekali dengan kapasitas menyeleksi dan mengakomodasi nilai-nilai tersebut dalam sistem kosmologi mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan fundamental nilai-nilai Aswaja. Teologi Aswaja, dalam kaitan ini, merupakan refleksi dari sikap eklektisisme para ulama par excellence dalam berbagai aspeknya: 1) dalam aspek fiqh, paham Aswaja menganut salah satu dari empat imam mazhab; dalam aspek 2) teologi atau akidah (ushul al-din), komunitas Nahdliyin memilih teologi kaum Sunni sebagaimana dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, sedangkan dalam hal 3) sufisme, mereka mengadopsi paham sufinya Al-Junaidi al-Baghdadi dan Al-Ghazali.
Ulama, sebagai pilar subkultur kaum Nahdliyin, memiliki peran tersendiri dalam proses diseminasi, transmisi dan transformasi nilai-nilai Aswaja kepada komunitasnya masing-masing, baik di pesantren maupun masyarakat sekitarnya. Dalam pengamatan Geertz, para kyai tersebut telah memainkan perannya sebagai cultural broker (makelar budaya) yang bertugas menyeleksi aspek-aspek budaya dari luar untuk dikunyah dan dikonsumsi oleh anggota komunitasnya. Seorang Indonesianis lainnya, Mitsuo Nakamura, berusaha memodifikasi pandangan Geertz tersebut, dengan mengambarkan figur kyai bukan semata sebagai makelar budaya, tetapi juga cultural producers yang mengunyah dan menghasilkan secara kreatif simbol-simbol dan nilai budaya yang akan dikonsumsi oleh ummat Islam.
Pada awalnya, sikap eklektisisme tersebut membentuk sebuah karakter yang positif dan akomodatif terhadap segala aspek kehidupan. Karakter ini membuat kaum Nahdliyin tidak takut menghadapi segala macam tantangan dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Bahkan, dalam banyak hal, mereka mampu memanfaatkan tantangan menjadi peluang. Dan, di sinilah letak kekuatan kaum Nahdliyin, tetapi sekaligus titik kelemahannya. Di satu sisi, mereka memiliki kapasitas untuk meramu sebuah faset budaya menjadi sebuah sumber inspirasi bagi masyarakat khalayak untuk diteladani. Tak diragukan lagi, praktik-praktik keberagamaan yang melembaga dalam masyarakat merupakan produk dari tangan-tangan dingin para produsen budaya tadi, yakni ulama/kyai.
Di sisi lain, karakter eklektisisme seringkali kehilangan maknanya, di tengah konfigurasi budaya yang semakin membuncah. Hal ini terjadi karena produk-produk budaya para kyai cenderung individual-sentris, terlalu terpusat pada kreativitas individu-individu kyai tertentu dalam menghasilkan produknya. Sebagai akibatnya, produk-produk kecerdasan para kyai cenderung meluber ke mana-mana, tidak terjaga dengan baik, hingga akhirnya kehilangan karakter dasarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, karakter eklektik ini berubah menjadi mencairnya, hingga hilangnya karakter (character nihilism), yang ditandai dengan kebingungan dan kelimbungan psikis dalam merespon apapun yang ada di depannya, terutama terkait dengan tradisi keagamaan di tengah tantangan yang semakin kompleks.
Kehilangan karakter bisa dimaknai dalam konteks lemahnya ketahanan diri (enduring spirit) dalam menghadapi gempuran “musuh”, sehingga mereka gampang menyerah dalam sebuah medan kontestasi intelektual/ideologis/sosial/politik/dsb. Inilah faktor yang menyebabkan kaum Nahdliyin begitu mudahnya menyerahkan sumber-sumber daya yang sudah digenggamnya kepada orang lain.
Kendurnya karakter kaum Nahdliyin dalam menghadapi ketatnya persaingan di medan kehidupan tidak boleh dibiarkan, jika mereka tidak mau terpinggirkan dari percaturan seperti terjadi pada masa-masa silam. Kaum Nahdliyin harus dibekali karakter yang kuat guna menyongsong tantangan-tantangan ke depan yang jelas akan jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, reinterpretasi nalar pendidikan Islam dalam perspektif doktrin Aswaja perlu dilakukan agar kaum Nahdliyin mampu memaksimalkan segala potensi yang ada demi kebaikan mereka ke depan.
Aswaja: dari Moderasi ke Mediokrasi
Tantangan berikutnya menyangkut pandangan dunia atau kosmologi moderasi yang bisa menjadi semacam boomerang bagi kaum Nahdliyin. Sikap moderasi, di satu sisi, menghendaki kaum Nahdliyin tidak terjatuh dalam sikap ekstremitas pemikiran maupun tindakan yang bisa mengakibatkan ekses-ekses kontraproduktif bagi masyarakat, negara dan bangsa. Hal ini jelas merupakan sebuah modal sosial-budaya (socio-cultural capital) yang telah menjadikan mereka survive dalam kerasnya percaturan kehidupan, sekalipun dituding oleh “musuh-musuh” mereka dan sejumlah ilmuwan sebagai bentuk sikap oportunistik. Sikap semacam inilah yang dipuji oleh banyak pihak sebagai kelenturan NU dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kelompok ini sering dijuluki sebagai kelompok religius-nasionalis.
Namun demikian, proses pengerdilan, pengeroposan dan pembusukan nilai selalu terjadi dalam proses-proses sosial-budaya. Pembusukan itu terjadi pada pereduksian makna moderasi itu sendiri yang seringkali mengebiri “libido” kaum Nahdliyin untuk menjadi yang terbaik dalam seluruh proses kontestasi. Dalam ungkapan yang sederhana, proses pembusukan itu terjadi ketika kosmologi moderasi berubah menjadi mediokrasi, di mana kapasitas produk dari model pendidikan Islam di lingkungan NU dianggap menempati “kelas dua” karena tidak bisa bersaing dengan produk dari organisasi-organisasi keagamaan lainnya, terutama kaum Muslim modernis.
Dalam derajat tertentu, kosmologi moderasi dalam tubuh Nahdliyin banyak diilhami oleh doktrin-doktrin Aswaja yang sudah kesohor seperti: filosofi “jalan tengah” (tawassut), berdiri tegak lurus, tidak condong ke kanan maupun ke kiri (i’tidal) dan keseimbangan (tawazun). Sikap-sikap semacam inilah yang belakangan memola dan membentuk karakter kepribadian seorang Nahdliyin dalam banyak aspeknya, sekalipun variasi dan pengecualian-pengecualian bisa saja ditemukan di antara mereka.
Lagi-lagi, ancaman pengeroposan karakter Aswaja bisa saja terjadi jika kaum Nahdliyin tidak dewasa dan bijaksana dalam mengimplementasikan doktrin tersebut. Konsekuensi lebih jauh dari proses pengeroposan dimaksud bisa kita saksikan, misalnya, dalam lemahnya kaum Nahdliyin untuk mengambil inisiatif perubahan dalam sejumlah sektor di kehidupan publik. Akibatnya, potensi kaum Nahdliyin yang begitu besar tidak ter-blow-up secara maksimal menjadi sebuah dentuman sosial-intelektual yang menggetarkan urat nadi kehidupan bangsa. Memang ada sejumlah deviasi kasus dan pengecualian, tetapi prosentasenya sangatlah kecil. Dengan kata lain, kosmologi moderasi menciptakan manusia-manusia dengan kualitas sumber daya manusia medioker yang tertinggal dari komunitas lainnya. Doktrin moderasi, pada gilirannya, berakumulasi menjadi mediokrasi.
Beyond Aswaja
Terlepas dari pengeroposan-pengeroposan doktrin Aswaja sebagaimana digambarkan di atas, bukan berarti seluruh kaum Nahdliyin tengah berada di dasaran peradaban nasional maupun global. Ada sejumlah generasi Nahdliyin, yang karena didasari oleh kesadaran melakukan perbaikan “nasib” dirinya, terdorong untuk mengatasi tantangan-tantangan yang ada dan melakukan transformasi sosial-budaya. Fenomena baby booming generasi muda NU yang pernah diramalkan oleh Cak Nur dalam pentas nasional maupun internasional barangkali bisa dijelaskan dari perspektif ini.
Sementara kaum modernis Muslim telah mampu melahirkan banyak teknokrat terdidik yang memiliki keahlian tertentu di sejumlah pos-pos penting kehidupan publik, kaum Nahdliyin secara individu maupun kelembagaan tengah giat-giatnya membenahi sektor pendidikan dengan cara menyekolahkan generasi mudanya ke jenjang pendidikan lebih tinggi di sejumlah universitas terkemuka di dunia. Sebagian dari produk pengembangan sumber daya ini bahkan sudah kembali ke tanah air dan memerankan fungsinya masing-masing di beberapa sektor kehidupan publik.
Namun yang perlu dicatat adalah, fenomena baby booming di atas terjadi di luar kerangka kesadaran dan pemaknaan doktrin Aswaja secara tradisional seperti dipahami di atas. Bisa dikatakan, generasi muda NU yang berhasil melakukan transformasi diri berhasil keluar dari “kepompong” Aswaja tradisional dengan cara memberikan semangat baru terhadap nilai-nilai dimaksud. Ini bukan berarti bahwa keberhasilan mereka melakukan transformasi akibat dicampakkannya doktrin Aswaja dan menggantinya dengan nilai-nilai lain yang mungkin lebih pragmatis. Yang terjadi adalah, mereka mampu meremajakan kembali (reinvigoration) nilai-nilai tersebut dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kekinian. Dengan ungkapan lain, mobilitas dan proses transformasi diri bukan berarti melepaskan baju Aswaja dari sistem kosmologis mereka, tetapi memberikan pemaknaan baru terhadap nilai-nilai dimaksud agar memiliki sisi keunggulan komparatif bagi perbaikan dirinya ke depan.
Selain itu, NU secara kelembagaan bertanggungjawab membantu membudidayakan upaya peremajaan nilai-nilai Aswaja di seluruh jenjang pendidikannya, dengan cara menanamkan pentingnya kesadaran berkompetisi dan berkontestasi dengan komunitas di luar dirinya. Pembenahan lembaga pendidikan di bawah kendali NU agar menjadi lembaga-lembaga berbasis manajemen modern juga layak untuk dikedepankan, demi melengkapi cerita keberhasilan pesantren yang sudah banyak memberikan kontribusinya untuk negara dan bangsa ini melalui peran alim-ulamanya. Pendek kata, pendidikan Islam di lingkungan NU perlu dikembangkan untuk mencetak lebih banyak lagi kaum teknokrat terdidik yang menguasai keahlian tertentu yang banyak dibutuhkan negara-bangsa ini, sekaligus mulai mengurangi jumlah solidarity maker yang keberadannya sudah menemui titik jenuh. Bisakah langkah ini dilakukan?
Allahu a’lam bi al-shawab.
Dr. Masdar Hilmy, MA.
Alumnus Pesantren Al-Hidayat Lasem Rembang dan pengajar pada Fakultas Tarbiyah dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Makalah disampaikan dalam diskusi rutin dengan tema “Aswaja dan Konsep Pendidikan” di kantor PWNU Jawa Timur, Surabaya, 31 Januari 2009.
A. Wahid Hasyim, “Mengapa Saja Memilih Nahdlatul-‘Ulama”, dalam Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim, 1957), 740, sebagaimana dikutip oleh Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, Cet. V (Yogyakarta: LKiS, 2004), 68.
Lebih jauh tentang doktrin Ahlussunnah wal-jama’ah, lihat, misalnya, KH. Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah (Surabaya: Khalista bekerjasama dengan LTNU Jawa Timur, 2006), 27-38. Doktrin ini secara lebih ekstensif diperluas-kembangkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui salah satu bagian dalam bukunya, “Kerangka Pengembangan Doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja),” dalam Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 32-43.
Berbunyi: “Al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-‘akhdz bi al-jadid al-ashlah.”
KH Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), 52-53.
Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies in Society and History, 2 (1960), 228-49.
Hiroko Horikoshi, A Traditional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java (Chicago: The University of Illinois, 1976).
Doktrin tawassuth, al-i‘tidal dan al-tawazun disarikan dari sejumlah ayat Al-Qur’an, seperti: Q.S. Al-Baqarah: 143, Q.S. Al-Ma’idah 8, dan Q.S. Al-Hadid: 25. Lihat, KH. Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut NU) (Surabaya: Khalista, 2007), 69-73.
0 Komentar